February 11, 2008

Manusia Indonesia : Tinjauan Ulang

Siapkah manusia Indonesia untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi dimasa mendatang ? Mochtar Lubis dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia : Sebuah Pertanggungan Jawab (1977). Mempersoalkan modernisasi yang ternyata tidak membawa perubahan cukup mendasar dari sikap dan nilai kemasyarakatan yang sesuai dengan modernisasi itu sendiri. Mochtar Lubis menyebut ada enam ciri utama manusia Indonesia.
Pertama, HIPOKRITIS alias munafik. Sifat berpura-pura, atau sifat lain di muka lain di belakang ini adalah sebagai akibat dari paksaan dari luarindividu untuk menyembunyikan hal-hal yang dipikirkan dan dirasakannya. Individu demikian tunduk dengan paksaan ini sebab pelanggaran terhadapnya dapat mendatangkan bencana bagi diri si individu. Sisa-sisa feodalisme dituding Mochtar sebagai penyebab adanya sifat hipokrit ini.
Kedua, PENAKUT, dalam arti tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Struktur hirarki, yang ada digunakan untuk saling melempa
tanggung jawab sampai ke orang di lapisan terbawah. Kalimat “bukan saya” merupakan kata sakti yang sering dilontarkan si Boss untuk melempar tanggung jawab ke bawahannya. Celakanya, bawahan juga punya kata yang tak kalah saktinya yaitu “ saya hanya menjalankan perintah dari atasan”. Akhirnya orang bingung siapa yang harus bertanggung jawab kalau terjadi salah urus dalam suatu pekerjaan. Ironisnya, kalaupekerjaan itu berhasil, maka orang akan rebutan untuk tampil menerima surat penghargaan dan tanda jasa.
Ketiga, JIWA FEODAL, menghasilakn prinsip Asal Bapak Senang (ABS). Bukan hanya Boss, anak buah juga sulit membedakan organisasi dengan pribadi si Boss. Organisasi identik dengan si boss, akibatnya isteri dan anak si Boss juga berhak memerintah bawahan. Karena itu apapun kata si Boss wajib untuk di turuti.
Keempat, PERCAYA TAHAYUL. Tiap benda dimuka bumi ini memiliki kekuatan gaib yang bisa menambah kewibawaan orang yang memiliki benda-benda tertentu. Manifestasi dari pemilikan kekuatan ini adalah “lambang” atau “simbol” tradisional seperti pemilikan keris dan tombak.
Kelima, ARTISTIK. Tidak bisa dipungkiri, sikap ini membawa bangsa indonesia terkenal di saantero dunia. Turis yang datang ke Indonesia, ingat akan tari Bali yang exotic, tari Jawa yang lemah gemulai, dan lain-lain. Tapi secara bersamaan ciri ini juga mengisyaratkan bahwa orang Indonesia cendereung untuk menggunakan perasaan (atau irasionalitas) dibandingkan akal (rasio). Perasaan dulu, baru
Keenam, TIDAK TEGUH PENDIRIAN. Mochtar menyerang kaum intelektual yang cenderung selalu mencari alasan pembenar terhadap pernyataan yang dikemukakan oleh seorang pejabat, sekalipun si ilmuwan mengetahui pernyataan itu salah. Tapi sifat ini tidak melulu dimiliki kaum intelektual. Masyarakat luas juga memiliki penyakit yang sama. Mereka takut berbeda pendapat dengan pimpinan yang mereka hormati. Disini terkesan orang Indonesia ingin “cari selamat saja”.
Kini setelah puluhan tahun berlalu, apakah cirri yang dikemukakan Mochtar masih relevan dibicarakan ? atau kita perlu menambah cirri manusia Indonesia ini dengan cirri yang lain ?
Riswandha Imawan dalam bukunya yang berjudul Membedah politik Orde Baru : Catatan Dari Kaki Merapi (1997). Menambahkan tiga sifat manusia Indonesia.
Pertama, berpikir soal JALAN PINTAS. Sadar atau tidak, pola pola pikir ini terbentuk dari cerita-cerita rakyat yang menitik beratkan kepada hasil dari pada prosesnya. Di Jawa tengah kita tahu cerita membangun candi prambanan hanya dengan tempo satu malam. Demikian pula cerita tangkuban perahu di jawa barat, selat Bali di Jawa Timur, dan lain-lain. Sangat jarang ditemukan cerita rakyat yang menceritakan terjadinya sesuatu sebagai hasil dari serangkaian usaha yang sangat panjang. Kalaupun ada, gambaran itu hanya sebatas prolog atau greget awal, hasilnya sendiri lebih diwarnai oleh kalimat “simsalabim”.
Akibatnya, pertama banyak anggota masyarakat kita yang mengentengkan pekerjaan, menunda satu pekerjaan karena toh akan bisa selesai dalam waktu singkat. Karena itu jangan heran kalau TOGEL tetap diminati masyarakat sekalipun mereka tahu TOGEL tidak dibenarkan oleh agam. Kedua, banyak anggota masyarakat kita tidak sabar untuk segera menikmati hasil kerjanya. Mulai berdagang hari ini, besok sudah ingin jadi konglomerat. Mulai kuliah hari ini, besok sudah ingin jadi sarjana. Salah satu sumber terjadinya korupsi dan menurunnya sikap gotong royong dalam masyarakat akhir-akhir ini, tidak pelak berasal dari sifat mengandalkan kjalan pintas ini.
Kedua, EGOIS. Orang Indonesia banyak yang merasa hebat. Orang lain dianggap sepele. Banyak diantara kita lupa bahwa rezeki atau harta hanya titipan Tuhan, tidak sepenuhnya milik kita. Mereka sering lupa bahwa ajaran yang paling luhur dari nenek moyang adalah “Gotong Royong”, senasip sepenanggungan. Kita bisa melihat banyak usahawan besar yang demikian gampang menelan usahawan-usahawan kecil. Namun jika berhadapan dengan usahawan asing, mereka bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya.
Ketiga, LATAH. Kita demikian bangga dengan unsur-unsur modernisasi yang notabene membawa uinsur-unsur budaya asing. Pokoknya kita masih belum modern kalau belum meniru gaya penyanyi rap Amerika. Hal yang cukup menggelikan dari sifat latah ini adalah sering kita tidak mengetahui secara persis makna-makna dari hal-hal yang kita tiru atau ucapkan. simak saja, kita makan ayam goreng Amerika dengan nasi putih, yang biasanya dengan kentang goreng. Kita menggunakan mesin AC untuk menjaga kebersihan udara; tapi masih banyak yang merokok di ruang ber-AC. Dengarkan pula pidato Pak lurah di sebuah desa di kaki gunung Merapi: “Globalisasi membuat kita harus meningkatkan kewaspadaan melalui siskamling.” Waduh. Padahal, percaya atau tidak, disadari atau tidak, orang luar justru sangat menghargai kebudayaan kita.



Tulisan ini di kutip dari buku yang berjudul “Membedah Politik Orde Baru”
Karya Almarhum Prof. Riswandha Imawan.
Sebagai bentuk penghormatanku terhadap beliau.
Eagle Flies Alone

0 comments: