September 23, 2008

Haruskah Aku Dipidana ?


Yogyakarta adalah kota pelajar begitu sebutan yang begitu familiar aku dengar dari dulu sampai sekarang mungkin. Pelajar identik dengan pengetahuan sedangkan pengetahuan itu sendiri tidak bisa dilepaskan dengan buku. Ya pada akhirnya muncul anonim bahwa buku adalah jendela ilmu. Yogya memang terkenal dengan surganya buku. penrbit-penerbit buku begitu banyak tersebar di Yogya mulai dari yang serius sampai dengan yang hanya mengkhususkan pada buku-buku humor. Maka tidak salah jika Yogya dijadikan tempat referensi untuk mencari buku. Dari segi harga mungkin tidak berbeda jauh dengan kota-kota lainnya namun dari segi kuantitas Yogya menang mutlak dengan kota-kota lainnya bahkan dengan Jakarta sekalipun.
Maka tidak salah jika setiap mahasiswa luar yang datang ke Yogya menyempatkan diri untuk belanja buku. Temen-temen dari ITATS (Institut Teknologi Adi Tama Surabaya) misalnya. Mereka bahkan menghabiskan hampir 2 juta untuk belanja buku di Yogya. Bagi para penghobi baca mungkin tidak asing lagi dengan komplek penjualan buku yang terletak di tengah-tengah kota Yogya. Shoping, begitu orang biasa menyebutnya. Padahal tidak ada satupun kata-kata shoping terlihat di komplek tersebut. Selain harganya yang murah, di sana biasanya tersedia buku-buku aneh yang jarang ada di toko buku populer semisal Gramedia. Selain terkenal karena murah, di Shoping juga terkenal sebagai pusat plagiat buku terbesar bahkan mungkin di Indonesia. Disana toko-toko secara terang-terangan menawarkan harga buku yang sangat murah tapi jangan senang dulu biasanya buku-buku murah tersebut kalau tidak bekas biasanya juga bajakan (copy). Bayangkan saja buku tetraloginya Andrea Hirata yang biasanya dijual diatas harga 40 ribu (asli), buku copyannya hanya dihargai 15 ribu. Aku sempat berpikir mungkin kalu si Andre dan Bentang pustaka (penerbit teralogi tersebut) tahu mereka akan marah bukan main.

Aku sebagai seorang mahasiswa fakultas hukum juga sangat anti terhadap buku-buku bajakan (pada mulanya). Buku-buku yang aku beli semua asli cara mensiasati mahalnya buku-buku itu biasanya aku beli buku pada saat pameran atau beli buku di toko buku diskon. Tapi tepat tanggal 27 Agustus 2008 akhirnya idealisme aku pecah juga. Idelisme untuk tidak membeli buku-buku bajakan. The Secret, buku itu memang telah lama aku ingin beli namun karena harganya yang masih diatas 50 ribu maka aku masih tahan-tahan mengingat keuangan yang tidak stabil. bayangkan aja, dengan uang 50 ribu aku bisa beli dua atau bahkan tiga buku.

Teman-teman dari Jember Dani (sekjen nasional Perhimpunan pers mahasiswa indonesia) dan Fandi (Dewan etik nasional PPMI) datang ke Yogya, jadwal mereka adalah belanja buku, aku dan temanku sebagai tuan rumah akhirnya menemani mereka belanja buku. Tujuannya pertama ke Shoping. Setelah parkir motor kami masuk ke komplek tersebut, pandangan mataku langsung tertuju ke sebuah buku yang sudah lama aku incar, The secret. akhirnya aku iseng-iseng nanya harganya, ternyata setelah diskon harganya turun menjadi 45 ribu. Semua toko yang kelihatan memajang buku The Secret aku tanykan harganya rata-rata harganya 45 ribu. ada satu toko yang mewarkan harga paling murah yaitu 42 ribu, berbeda 3 ribu tapi cukup membantu aku karena uangnya juga mepet. Sempat aku langsung ingin membelinya tapi karena kita masih ada di lan tai 1 maka aku memutuskan untuk naik ke lantai 2, siapa tahu ada yang menawarkan lebih murah lagi.

Begitu naik ke lantai 2 aku kembali melakukan rutinitas seperti di lantai satu ternyata harganya sama. Ketika aku sudah mulai capek dan niatan untuk membeli buku yang hargaya 42 ribu itu sudah bulat iseng-iseng aku nanya di toko buku dekat tangga. Betapa kagetnya aku ketika mendengar harga yang ditawarkan. 25 ribu itupun setelah aku tawar akhirnya berkurang jadi tinggal hanya 20 ribu. Dengan santainya mas-mas penjaga toko itu bilang "tapi copyan mas..."

Aku sempat turun ke latai 1 minum es teh dan ngerokok sambil mikir mana yang lebih baik, beli buku bajakan atau buku asli. Ternyata setelah aku pikir-pikir, buku itu buku sensasional, best seller dan penerbitnyapun gramedia jadi mungkin mereka telah banyak mendapatkan untung, mereka tidak akan rugi banyak jika buku bajakannya aku beli. Dan akhirnya buku The Secret berhasil aku beli walaupun hanya bajakan. tapi dari cover dan isinya tidak ada perbedaan yang mencolok, mungkin hanya kualitas kertas yang membedakan.Keinginanku untuk memiliki buku The Secret akhirnya kesampaian juga. Tapi berarti aku juga termasuk orang yang membantu memperlancar proses berjalannya tindak pidana pembajakan, kemungkinan untuk aku menjadi terpidana bisa terjadi . Tapi pantas tidak aku dipidana ?.

Satu sisi kita diminta untuk gemar membaca tapi disisi lain harga buku menjadi tidak terkontrol sehingga membuat kebingungan bagi orang yang tidak punya cukup uang. Selain bidang pendidikan yang sudah sangat sulit diakses oleh sebagian orang, kini BUKU yang merupakan salah satu jalan yang seharusnya menjadi alternatif untuk memperoleh ilmu, perlahan-lahan mulai dipersulit cara memperolehnya.

Selengkapnya......

Triangle Community


Keinginan untuk tidak selalu bergantung pada orang tua mendorong aku dan beberapa orang temenku mempunyai pikiran untuk mendirikan sebuah EO (Even Organizer). Beberapa orang berpendapat bahwa wajar sebenarnya jika anak-anak yang masih duduk dibangku kuliah mendapat kiriman uang dari orang tua. Tapi tidak bagi kami, memang terkesan tinggi sekali idealisme kami. Kesempatan menimba ilmu di kuliah telah kami dapatkan (walaupun belum selesai), pembelajaran tentang berbagai macam cara hidup juga telah kami peroleh kini tinggal cara bagaimana kami mengaplikasikannya. Biaya kuliah yang mahal dengan disertai meningkatnya beban hidup semakin memperkuat keinginan kami untuk mencoba bertahan hidup dengan cara kami sendiri.

Sudah beberapa kali pembicaraan-pembicaraan serius telah kami lakukan. Dan dengan pertimbangan yang matang akhirnya EO yang kita rencanakan terbentuk juga tepat pada tanggal 15 Juli 2008. Triangle sebuah nama yang kita sepakati sebagai identitas kami. Kata Community sengaja kami tambahkan dibelakang kata triangle mengingat EO ini belum terdaftar dihadapan notaris. Community atau komunitas menjadi dasar yang kuat, mengingat bahwa pendirian suatu komunitas tidak memerlukan perizinan yang ribet dan biaya yang mahal.

Struktur kerja sudah dibentuk. Job desk juga sudah terbagi dengan matang. untuk masalah-masalah struktur dan kerja tidak membuat kami pusing karena teman-teman yang tergabung dalam Triangle Community sudah punya pengalaman dalam organisasi. Beberapa rencana kerja sudah mulai disusun, target-targetpun sudah mulai dibuat. Sasaran pertama adalah politik pencitraan. Kita mencoba membuat sebuah even dengan tidak berdasar profit terlebih dahulu karena kita yakin kepercayaan yang orang lain berkan kepada kita menjadi hal yang utama.

Lobi-lobi sudah mulai kita lakukan, target pertama adalah bedah buku yang bekerja sama dengan penerbit buku yang tengah naik daun, penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka). Penrbit dari yogyakarta yang berhasil dengan novel tetraloginya Andrea Hirata dan juga dengan Kick Andynya. Beberapa kali "tim negosiasi" Triangle bertemu dengan direktur Bentang dan itupun tidak sia-sia, akhirnya Bentang sepakat bekerja sama dengan kita untuk bedah buku karangan Kribo (Kartunis Kompas) yang berjudul DPR. Bentang berpendapat bahwa buku yang akan dibedah ini termasuk salah satu buku bagus terbitan Bentang yang launchingnya dilaksanakan pertengahan September kemarin dan Triangle berkesampatan membedah buku ini untuk yang pertama kalinya.

Tanggal 25 Oktober menjadi tanggal yang dipilih untuk acara ini, kami persiapkan acara ini dengan matang mengingat acara ini adalah proyek pertama yang kami. Untuk tempat mulai sekarang kami masih melakukan survei. Semoga proyek pertama kita dapat berlangsung sukses. Semoga bedah buku ini menjadi awal bagi kesuksesan kami Triangle Community.


Selengkapnya......

July 27, 2008

Perjalanan Yang Menyenagkan

Candi Sukuh



Candi Cetho




Tujuan kami (aku, Rully, Arab, Vidis, Eka, Tomy, Johan, dan Ayu) hari ini (13-07-2008) adalah ke kabupaten Karanganyar, tepatnya reportase ke 2 buah candi yang terletak kurang lebih 1400m diatas permukaan air laut. Karena satu dan lain hal maka jadwal keberangkatan yang semula direncanakan pukul 09.00 ternyata molor hingga pukul 12.00.
Perjalanan selama 1.5 jam dari Yogya menuju Karanganyar tidak terlalu kami rasakan. Tidak ada hambatan berarti yang kami temui selama perjalanan. Perjalanan mulai terasa menarik ketika kami mulai masuk daerah Tawangmangu. Terus terang diantara kami tidak ada seorangpun yang tahu dimana letak kedua candi tersebut secara tepat. Hanya pengalaman membaca peta dari internet yang menjadi acuan kami, selebihnya kita harus bertanya ke warga sekitar ketika papan penunjuk arah mulai membuat kita bingung. Keasyikan ngobrol membuat aku dan beberapa orang temanku salah mengambil arah jalan, tapi untungnya masih ada si Johan yang mengingatkan.

Perjalanan kita lanjutkan, udara terasa panas waktu itu, maklum kira-kira kita sampai daerah Tawangmangu sekitar pukul 14.00. Ditambah lagi kanan dan kiri jalan adalah areal persawahan yang luas, sehingga menambah teriknya matahari. Tapi itu masih lebih enak dibandingkan harus jalan siang hari di Yogya. Panas yang terasa bukan diakibatkan oleh matahari, tetapi oleh polusi. Tak berapa lama akhirnya sampailah kita di jalanan yang cukup besar, keramaian sudah terasa. Terminal kecil menyambut kami, tapi bukan itu tujuan kami. dekat terinal ada papan penunjuk arah ke daerah candi. Tanpa banyak berpikir akhirnya perjalanan kita lanjutkan.

"wah ternyata masih jauh..." gumamku.

Setengah jam berlalu akhirnya kita tempat retribusi masuk sudah kelihatan. aku sudah tidak sabar, biasanya jarak antara tempat retribusi dan obyek wisata tidak terlalu jauh. Aku sudah mengira kalau nantinya sekitar 15 menit lagi akan sampai ke daerah candi.

"Berapa pak ?" tanyaku
"Satu motor seribu rupiah..."
"Arah candi sukuh mana pak ?" Si Arab bertanya pada petugas retribusi
"Ini lurus aja mas, nanti ada pertigaan, tinggal ngambil yang kanan aja..."

Aku sudah tidak sabar ingin menikmati candi maka, setelah bayar retribusi langsung aja aku tancap gas. 10 menit kita jalan tiba-tiba jalanan berubah. Dari yang awalnya datar-datar saja berubah menjadi tanjakan. Kita semua baru ingat kalau memang daerah yang akan kita tuju ini terdapat di atas bukit. Tanjakan yang tersajipun tidak tanggung-tanggung kira-kira 35 derajat tingkat kemiringannya. Semua motor tidak akan bisa naik jika tidak menggunakan gigi 1. Kita ketawa menyaksikan medan yang harus dilalui. Mundurpun tidak mungkin, karena kita sudah separuh jalan. Konsekuensi kerusakan motorpun harus kita tanggung.

"Gimana nih... ini bisa bikin rusak motor."

Suara yang cukup kencang memancingku untuk menoleh kebelakang dan mencari siapa yang si empunya suara itu. Setelah aku menoleh kebelakang ternyata orang itu Johan. Johan merasa kewalahan menghadapi tanjakan berkelok. Motornya pun tidak mau diajak kompromi. Ruly yang sebelum berangkat telah terlebih dahulu menservice motornya mearasa tidak terlalu mendapat kendala. Perjalanan berlanjut, arah jarum jam dispidometer motor yang aku naiki dengan Vidiz tak pernah beranjak dari kisaran 20 km/jam. Panel pengukur bensin yang semula tidak mengalami penurunan berarti, kini terjadi sebaliknya. Tapi ini memang konsekuensi logis akibat jalan yang menanjak. Sesampainya di atas kita disambut oleh pemandangan yang asri. Semua terbayar, keindahan candi yang dipadu dengan keasrian alam sekitar membius kita untuk sejenak melupakan kejadian melelahkan saat perjalanan tadi. kita langsung menuju tempat parkir. Disaat semua orang sudah buru-buru ingin segera memasuki candi, tapi Johan malah tidak langsung mematikan mesin motornya. Dia menunggu mesin motornya menjadi stasioner kembali sebelum akhirnya dimatikan. Memang sebuah akibat yang harus ditanggung oleh Johan karena motornya yang dipaksa untuk naik tanjakan. Sesampainya di tempat pembelian tiket, seorang pemandu wisata mencoba menawari kami untuk menggunakan jasanya.

"perlu pemandu gak nie ?"

Dengan senyumannya si bapak pemandu tersebut mencoba merayu kami. Tapi sayang usahanya tidak membuahkan hasil. Tujuan kita ke sana adalah untuk reportase jadi sebenarnya kita memang memerlukan jasa seseorang untuk menjelaskan tentang candi tersebut. Tapi keterbatasan dana yang kami miliki memaksa kami untuk tidak menggunakan jasa beliau secara langsung. Arab yang kebetulan menjadi penanggung jawab rubik ini tidak kehilangan akal. Arab akhirnya "menyususup" ke dalam kelompok pengunjung yang menggunakan jasa guide. Semua keterangan guide dicatat dengan lengkap. akhirnya informasi yang kita perlukan dapat kami peroleh tanpa engeluarkan uang sepeserpun untuk membayar guide. Waktu menunjukkan hampir pukul 4 sore. Dipapan pengumuan tertera bahwa pukul 17.00 wib candi akan tutup.

"Pak candi cetho tutupnya jam berapa ya pak ?".
"Ya jam 5 sore juga dik".
Obrolan singkatku dengan bapak penjaga tiket masuk membuat aku berpikir bahwa jika kita berlama-lama berada di candi sukuh maka jadwal reportase ke candi cetho tidak akan tercapai. Karena aku yakin bahwa perjalanan ke candi cetho tidak akan jauh beda dengan candi sukuh. Maka kami akhirnya memutuskan untuk menyudahi reportase di candi sukuh dan dilanjutkan ke candi cetho.

"Rul ayo cepat... takut gak sampai nih ke candi cetho..." Johan berteriak memanggil Ruly yang masih berada di kompleks candi sukuh yang dengan seriusnya membidik objek dengan kameranya.
"Iya iya..." jawab Ruly singkat.

Tepat disamping tempat kami memarkir sepeda motor, ada seorang pedagang sate ayam dan kelinci. Sebenarnya aku ingin menikmati sate itu. Apalagi harga yang ditawarkan tidak terlalu mahal, hanya Rp. 5.000,-. Udara yang dingin membuat aku sejenak berpikir menikmati sate kelinci di tempat yang dingin merupakan satu hal yang cukup mengasyikkan. Tapi karena waktu yang sudah tidak memungkinkan akhirnya aku menunda keinginanku. Perjalanan turun dari candi sukuhpun ternyata tidak semudah yang kita bayangkan.

"Mesin motornya kita matikan saja, kan enak biar ngirit bensin"

Perkataan ruly tersebut disambut tawa dengan teman-teman. Kali ini medannya berganti menjadi jalanan terjal yang berkelok.

"Sul kamu jangan terlalu ke kiri..."

Vidis yang kebetulan aku bonceng, sedikit protes ketika aku terlalu mengambil jalur kiri. Maklum di samping kiri kami adalah jurang. Perjalanan berlanjut, tujuannya kal ini ke candi cetho, papan penunjuk jalan tetap menjadi fokus perhatian kami. Kurang lebih seperempat jam berlalu, wilayah perbukitan mulai tampak menyambut kami. Kali ini pemandangan yang tersaji berbeda dengan apa yang telah kami lihat di sekitar candi sukuh. Hamparan kebun teh yang luas, membuat kami seakan-akan berada jauh di luar Yogya. Akhirnya kita tiba di tempat rertibusi. Setelah berjalan beberapa saat akhirnya kami mendapati papan penunjuk jalan "candi cetho 5 km". 5 km bukanlah jalan yang jauh buatku. Mungkin hanya akan menempun waktu 15 menit paling lama. Track jalan sudah berubah, tanjakan kembali tersaji. Penjuk arah yang kita temui tadi sudah tak kupercayai lagi.

"Wah bohong tuh penunjuk arahnya..."

Teman-teman tertawa mendengar perkataanku. Pasalnya aku merasa 5 km tidaklah sejauh ini. Setelah itu kami malah melihat lagi penunjuk jalan yang bertuliskan "candi cetho 3 km". Wah kali ini aku sudah yakin kalau yang membuat penunjuk arah itu pasti ngawur. Tidak mungkin perjalanan yang kami lalui tadi dari papan penunjuk arah pertama ke penunjuk arah yang kedua hanya 2 km. Spidometer motor yang aku naiki dengan Vidiz masih hidup dan spidomrter itu tidak mungkin membohongi kami. Setelah membelok, tanjakan yang harus kami lewati ternyata lebih parah, lebih terjal dari tanjakan ke candi sukuh. Tingkat kemiringan kira-kira 40-45 derajat. Dari kejauhan terlihat dua orang yang sedang menaiki vespa terlihat kesusahan menghadapi medan ini. Ketawa kami kembali pecah ketika kami dipaksa harus menyadari bahwa perjalanan ini perjalanan yang tidak biasa. Ketika beberapa kali Vidiz harus turun dari motor karena motornya tidak kuat naik dengan menanggung beban dua orang. Namun si Ruly malah mengendarakan motornya dengan cara yang tidak lumrah. Dia menjalankan motornya dengan cara berzig-zag. Tapi aku lihat cara itu cukup ampuh untuk mengakali agar dua orang tetap bisa berboncengan. Tomy dan Eka tidak terlalu merasakan kesulitan dalam perjalanan ini. Hanya ada sekali kejadian dimana motornya terperosok ke jalan yang berlubang. Candi Cetho sudah terlihat, Disekitarnya terdapat perkampungan yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup dari obyek wisat candi ini. Kalau di candi Sukuh mirip sebuah astec maka di candi Cetho adalah tempat persembahyangan. Setiap jumat legi di candi ini selalu diadakan ritual.

"Ayo cepet uda dekat ni..."

Aku sedikit berteriak kepada temnaku yang lain karena posisiku berada di depan mereka. Eh malah mereka berhenti Ruly dengan sigap mengekuarkan kamera diikuti dengan Johan yang sudah siap juga mengambil gambar. Aku terpaksa juga balik turun. Yang lain pada asyik foto-foto maka aku tidak mau melewatkan acara ini juga. Setelah puas foto-foto akhirnya kita masuk ke areal candi. Sungguh menarik, tak kalah menarik dengan candi sukuh. Aroma dupa cina merebak ketika aku mulai masuk ke areal candi. Saat itu memang ada beberapa orang yang sedang melakukan sembahyang. Tangga demi tangga aku telusuri. Tak lupa aku juga mengambil beberapa foto dengan kamera yang aku pegang. Data sudah kami dapat, jam di ponselku menunjukkan hampir jam 5 sore. Itu pertanda sebentar lagi candi akan ditutup. Juru kunci candi mulai mengecek kondisi candi. Sampah-sampah mulai dibersihkan. Pintu-pintu mulai ditutup tapi kami masih ngobrol dengan salah seorang penjaga candi.

"Eka mana ?" tanyaku kepada yang lain.
"Dia uda di ke bawah" kata Ruly.
maka pintu masuk ke bangunan candi bagian atas ditutup oleh juru kunci. tapi Tomy berkata sebaliknya "Dia maih di dalam kok"

Tak berapa lama ternyata benar si eka masih di dalam. Untungnya bapak yang tadi mengunci pintu masih berada bersama kami. Maka pintu kembali dibuka. Akhirnya reportase kami berakhir, kami akhirnya memutuskan untuk pulang karena waktu sudah hampir malam. Kita memutuskan untuk makan malam di daerah solo. karena kita sampai di solo hari sudah gelap maka kami kebingungan mencari jalan pulang ke arah yogya. Kami sempat mutar-mutar di kota solo. Karena cukup ramainya solo di malam hari maka Tomy dan Eka terpisah dengan kami. Aku, Vidis, Ruly, Arab, Johan dan Ayu akhirnya memutuskan untuk terus berjalan. Setelah cukup lama berjalan ternyata jalan yang kami tempuh bukan arah ke yogya melainkan arah ke semarang. Salah arah mengakibatkan kami kehilangan banyak waktu. Tapi akhirnya kami berhasil juga menemukan arah ke yogya. Kami memutuskan untuk makan malam. Sembari menunggu makanan, aku memutuskan untuk menelpon Eka karena sms Ruly tidak dibalas dengan Eka.

"Ka kamu dimana ?"
"Aku lagi makan".
"Dimana ?"
"Udah di jalan arah ke yogya"
"Tapi kamu tahu arah ke yogya kan ?"
"Iya tahu..."
"Ya sudah, kalau kamu bingung nanti hubungi aku ya.."
"Iya"

Percakapan aku dengan eka di telepon cukup membuat kami lega. Akhirnya kami dapat makan malam dengan tenang. Selesai makan kami langsung berangkat ke yogya. Kami tiba di yogya sekitar pukul 21.30 wib. Setelah aku tiba di kampus ternyata dihandphoneku ada sms dari Eka. Ternyata Eka dan Tomy telah lebih dulu sampai di yogya 1 jam lebih cepat dari kami. Ruly langsung memutuskan untuk tidur di kampus. Dia langsung mengambil kasur. Aku dan Vidis langsung pulang. Perjalanan yang melelahkan tapi juga menyenangkan. Cukup mengasyikkan...


Selengkapnya......

July 01, 2008

Ketika Tulisan Unstoppable


Judul film : Freedom Writers, Director: Richard LaGravenese
Cast: Hilary Swank (Erin Gruwell), Patrick Dempsey (Scott Casey),
Scott Glenn (Steve), Imelda Staunton (Margaret Campbell),
Kristin Herrera (Gloria), April L. Hernandez (Eva)
Genre: Drama. Year: 2007
Running Time: 123 Minutes
Produksi: Paramount Pictures

Film ini diangkat dari kisah nyata di sekolah ruangan kelas 203. Kali ini, “Freedom Writers” mengangkat kisah nyata dari Wilson, Long Beach, Amerika Serikat. Film ini diangkat dari novel berjudul sama yang merupakan kompilasi dari buku harian murid-murid tersebut.

Di kawasan ini, hidup berbagai kelompok seperti Little Cambodia, The Ghetto, Wonder Bread Land, dan South of The Borders. Masing-masing kelompok ini tidak akur dan selalu terjadi perselisihan. Sampai muncul istilah “School is like the city, and the city is like the prison,”.

Erin Gruwell guru baru di kelas 203, pada awalnya Mrs “G” (panggilan akrabnya) tidak pernah menyangka akan menghadapi kelas yang diisi oleh kumpulan anak-anak nakal. Erin yang mempunyai semangat layaknya baru menjadi seorang guru harus berhadapan dengan murid-murid yang sulit diatur. Ia berperan sebagai guru bahasa Inggris yang dihadapkan dengan masalah rasisme dikelasnya yang makin hari semakin meruncing.

Kelas 203 memang dihuni oleh murid-murid dari berbagai ras dan budaya yang sangat beragam, tak heran sentimen rasial setiap hari muncul saat ia mengajar. Dengan menggunakan pendekatan simpatik, Gruwel mencoba memahami latar belakang murid-muridnya dan menjembatani hal - hal yang begitu sensitif menyangkut sikap rasis.

Buku fenomenal yang berjudul “The Diary of Anne Frank” menjadi titik awal dimulainya perubahan, Mrs G melihat murid – muridnya belum memahami bahwa sikap rasis merupakan hal yang sangat berbahaya. Pendekatan dimulai dengan mengajak mereka membaca buku mengenai Anne Frank, diary dari seorang anak kecil yang menjadi saksi mata langsung kejahatan NAZI terhadap kaum Yahudi pada masa perang dunia kedua. Erin juga meminta mereka untuk mengutarakan isi hati mereka dalam sebuah tulisan di diary yang sudah ia persiapkan, seperti yang dilakukan oleh Anne Frank dahulu.

Setelah membaca diary murid – murid 203, Mrs G mulai mengerti mengenai apa sebenarnya keinginan mereka, dan anak-anak tersebut pun mulai mengerti bahwa Erin berbeda dengan guru-guru lainnya. Apabila guru-guru lainnya mengira mereka hanyalah sampah semata, Erin bisa mengerti bahwa mereka layak untuk diperjuangkan, dan dia mau memperjuangkan mereka. Sedikit demi sedikit mereka pun mulai bisa saling mengerti, saling mengisi, dan membentuk satu keluarga. Perubahan murid-murid kelas 203 ini tidak terjadi dalam semalam tetapi tahap demi tahap. Mereka yang pada awalnya adalah murid-murid nakal, mulai belajar mengenai kehidupan di luar sana, dan menyadari bahwa masih ada begitu banyak orang yang kurang beruntung ketimbang mereka.

Tentu saja Erin bukannya tanpa masalah menghadapi murid-murid ini. Masalah utama datang dari Margaret Campbell, sang kepala bagian yang menentangnya secara habis-habisan. Erin juga menghadapi masalah dari banyak guru-guru lainnya yang menganggap bahwa murid-muridnya tetap anak brengsek yang kalau dilepas akan kembali menjadi liar dan rusak. Hubungan Erin dengan sang suami juga mulai menjadi renggang karena sang suami menganggap bahwa Erin terlalu banyak mencurahkan waktunya kepada anak-anak ini.

Film ini mengajarkan bahwa kita bisa meluapkan semua kemarahan lewat tulisan, tapi tulisan bukan media penyebar kebencian.
Judul

Selengkapnya......

April 06, 2008

Lagi...lagi...dan Lagi...

Judul di atas bukan merupakan judul lagunya Andra & the Backbone. Tapi itu merupakan bentuk pengulangan kesalahan yang ternyata diulangi lagi oleh pemerintah.

Lagi-lagi pemerintah melalui tangan kanannya (DPR) mebuat kontroversi. setelah membikin bingung orang-orang lewat keluarnya UU PM (undang-undang penanaman modal ), kali ini pemerintah “menelurkan” PP No. 2 tahun 2008 yang intinya tentang lingkungan.hutan lindung menjadi bahasan tema utama “pergunjingan” di kalangan mahasiswa. Hutan lindung ? ya hutan lindung, sebagaimana kita pahami, pengertian hutan lindung adalah hutan yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah.

Hutan itu dilindungi, dijaga tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, agar kelestarian lingkungan Indonesia terjaga. Katanya sih hutan Indonesia sudah banyak yang rusak akibat illegal logging. Kebakaran hutan harusnya juga menjadi alasan mengapa harus ada hutan lindung.

Indonesia juga banyak dikritik oleh Negara-negara lain karena Kalimantan yang juga merupakan pulau terbesar kedua di dunia yang juga merupakan paru-paru dunia. Yang namanya paru-paru berarti memang harus dijaga karena kalau sudah sakit wah yang kena dampaknya semua organ bakalan sakit juga.

Bahkan pemerintah juga lagi seneng-senengnya menangkap pelaku illegal logging itu. Kita juga harus bangga bahwa pemerintah berarti juga ikut andil dalam pelestarian lingkungan. Semua orang pasti setuju kalau hutan itu harus di jaga.

Nah menariknya, sekarang justru kebalikannya, Indonesia dalam PP No. 2 tahun 2008 malah melegalkan hutan lindung itu untuk disewakan. Nah lho…? Investor-investor pada senang tuh apalagi harga sewanya Cuma Rp.300 per m2. Ingat hanya 300 perak per m2. Yang awalnya pemerintah berkoar-koar ingin menjaga lingkungan (hutan) malah sekarang menyewakan hutan. Ganti profesi ya pemerintah sekarang ini ?

Dengan harga sewa yang hanya seharga setengah batang rokok itu, para investor bebas mengeksplorasi dan mengeksploitasi hutan itu. Mengapa hanya Rp. 300 per m2 ? Pemerintah berdalih karena investor bakal menegeluarkan dana yang cukup banyak untuk mengelola hutan itu (Pak…pak… ngapain mikirin orang lain, Negara itu lho yang harusnya dipikirin, bukannya orang berduit aja yang dipikirin toh keuntungan yang bakal diperoleh investor bakal jauh lebih banyak).

Namun seberapapun besarnya harga sewa yang dikenakan oleh pemerinah, pemerintah tetap salah, kesalahannya jelas, mengapa hutan itu di seawakan ?. sampai saat ini saya belum mendapat jawaban yang cukup memuaskan terhadap pertanyaan ini. Malah ada indikasi kalau sebenarnya ini dampak dari tidak mampunya pemerintah untuk menangani illegal logging. Dari pada kayu dicuri-curi lebih baik dilegalkan saja. Toh pemerintah nantinya bakal dapat keuntungan juga. Kalau indikasi ini benar wah bagaimana jadinya bumi pertiwi kita nanti. Kaum-kaum pemodal bakal tertawa di atas penderitaan rakyat nih…

Terlepas dari kontroversi yang tidak banyak diketahui oleh orang, pemerintah cukup pintar dalam hal ini. Pemerintah membuat pengalihan isu yang dibesar-besarkan yaitu tentang UU ITE yang cukup menarik perhatian orang banyak. Sehingga orang tidak banyak yang memperhatikan PP ini dan tidak banyak disinggung sehingga dengan mudahnya terbentuk.

Selengkapnya......

March 27, 2008

Migrasi

Dan…
Akhirnya jadi juga aku pindah kamar, setelah tertunda beberapa kali akhirnya saat ini kesampaian juga. Dari pertama kali aku di Yogya tahun 2004, aku “bersemedi” di kamar lantai 1 yang deket banget ma tangga and deket pula ma jalan gang.

Emang awalnya aku merasa enak banget karena kamarku itu telah built in dengan kamar mandi (emang Cuma mobil aja yang bisa built in). Sebenarnya enak banget tuh, mau
ngapain aja di kamar mandi juga g’ masalah, mau mandi kapan aja g’ masalah, mau mandi lama-lama juga gapapa hehehe…. (* mode pikiran jangan ngeres ON).

Dari pada diteriakin temen-temen yang pada ngantri mau mandi (hampir mirip antri sembako juga) lebih baik kan aku milih kamar yang kamar mandinya di dalam. Ini juga tidak lepas dari perjuangan kakakku juga yang telah meloby senior kosku yang sebenarnya ngincer kamarku itu dulu. Tapi karena abangku lebih senior akhirnya akulah yang dapat.

Aku juga g’ susah-susah harus ngejalani tes calon penghuni H@X Community (sebutan keren untuk kosku tersayang yang sebenarnya berasal dari alamat kosku H. 10). Tanpa harus menjalani tes fisik yang keras (push up dan segala macamnya itu, terkadang bogem mentah juga menjadi sarapan tiap pagi) akhirnya aku bisa masuk dengan santai. Kalau orang yang tidak punya link ke dalam, jangan harap bisa lolos dari tes masuk ini. Keren g’…?

Tapi sayangnya sekali, pada saat aku nulis tulisan ini aku pengen banget berbohong jadinya aku masukin tuh kata-kata yang sedikit serem (ihhh takut…, serem po…?) padahal itu semua g’ benar (* mode bohong ON). Kosku tidak pernah terinveksi dengan virus HIV tersebut. Eh salah virus KEKERASAN maksudnya (kalau yang ini aku g’ bohong, yakinlah sumpah).

Cukup sekian cerita tentang kosku secara umum, sekarang kita kembali ke pokok bahasan awal yaitu pindah kamar. Sebenarnya aku uda mau pindah kamar dari tahun lalu karena seiring bertambahnya waktu dan usia (emang pengaruh po?) aku jadi pengen pindah ke kamar yang lebih besar. Sempat aku mau pindah ke kamar yang kamar mandinya di dalam juga dan masih di lantai satu, tapi pas ditawarin ma anak bapak kos (anaknya cewek lho… tapi sayang uda punya suami) untuk pindah kamar entah kenapa aku malah jadi males untuk pindah. Untuk “sementahun” aku putuskan untuk tidak pindah kamar.

Klimaksnya (udah diubun-ubun nih)terjadi ketika aku uda merasa kamarku itu uda penuh dengan barang-barang. Akhirnya aku putusin untuk pindah, cari-cari kamar kosong, setelah aku telusuri kos-kosanku selama 2x24jam (tapi g’ pake lapor ma ketua RT) akhinya aku nemuin kamar yang mau di tinggalin ma mantan penghuninya.

Tapi aku sempat bingung, ngapain aku nyari kamar kosong di kosku nyampe 2 hari, padahal di kosku Cuma ada 15 kamar yang terdiri dari 2 lantai. Tinggal nongol di luar pintu kamar aja pasti kelihatan mana kamar ang kosong. Aku jadi bingung nih. Apa aku yang salah ngitung y…? maklum lah, aku kan kuliah di fakultas hukum jadinya masalah itung-itungan aku emang g’ jago-jago amat (emang ayam mas…).

Singkat cerita akhirnya aku dapat kamar yang pas tapi dengan konsekuensi tidak ada kamar mandi di dalam. Yang perlu diperhatikan adalah yang pasti aku harus ingat bahwa 1 kamar mandi untuk 8 orang, jadi g’ bs berlama-lama lagi pas waktu mandi. Kalau tetep nekat mandi lama konsekuensi yang akan dihadapi adalah makian dan cacian yang akan datang secara bertubi-tubi dari beberapa orang penghuni H. 10 yang sedang ngantri juga untk mendapatkan se-bak air bersih.

Proses evakuasi barang-barang tidak membutuhkan waktu yang lama. Temen-temen kos juga ikut membantu. Cukup sediain es nutrisari made in burjo sebelah plus rokok djarum super maka semua pekerjaan akan berjalan sesuai keinginan kita (Indonesia banget deh… yang penting ada asap…).

Aku senang banget dapat kamar ini karena selain kamarnya yang luas, aku juga g’ perlu repot-repot ngecat lagi dindingnya karena catnya uda lumayan bagus. Lumayan bagus sih dari pada jelek banget (aku menghargai tetesan keringatmu wahai bang Charly). Untuk cat kamar terdiri dari 4 warna yang sebenarnya berasal dari 1 warna. Hijau tua banget, hijau agak tua, hijau muda dan hijau muda banget (bingung g’ kalian…?).

Sebelumnya kamar ini dihuni oleh seorang pria dari Pontianak. Charly namanya, pria yang selama di Yogya mendambakan bisa berpacaran dengan seorang wanita tetangga kosku. Tapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, karena perjuangannya yang kurang memadai akhirnya mimpi untuk mendapatkan Dewi (nama sebenarnya) tidak kesampaian. Untuk bisa melihat dalam radius 3 meter aja udah beruntung. Karena kalau sampai terlalu dekat maka alarmnya akan menyala dan maka siap-siaplah berhadapan dengan sniper peliharaannya hehehe… piss bang…

Tapi g’ apa-apa, cerita tentang bang Charly tetap berakhir dengan bahagia karena dia berhasil menangkap wanita yang dia dapatkan dengan cara menebar jala cintanya (cie…cie…cie… sok romantis). Wanita yang beruntung adalah… wanita kelahiran Pontianak juga. Hah…? What…? Masa’ jauh-jauh ke Yogya dapatnya tetangga rumah juga bang…? Setelah 5 tahun akhirnya bang Charly lulus juga dan memutuskan untuk pulang ke Pontianak.

Pria yang kedua yang menempati kamar ini sebelum aku adalah Bang Topik atau Bang Upik. Ini orang juga asli Pontianak. Sebenarnya dia make dua kamar di kos ini karena dia udah nikah makanya dia ngontrak dua kamar. Pasangan yang berbahagia ini tidak begitu lama ngontrak kamar ini. Akhirnya setelah bang Topik mutusin untuk hanya make satu kamar, maka kamar ini akhirnya ada dalam genggamanku. Hwahwahwahaw…… merdeka !!!. Dan akhirnya trah Pontianak di kamar ini berhasil aku putus. Berganti kepada aku asli keturunan Arudam (Madura, red).

Selengkapnya......

February 11, 2008

Eksistensi Hukum Islam

Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.

Di Era Reformasi
Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me"mapan"kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.
Pemilu legislatif (5 April 2004) serta pemilu presiden putaran I (5 Juli 2004) dan II (20 September 2004) telah usai dengan damai. Penyelenggaraan pemilu yang sangat damai ini mendapat pujian dan decakan kagum dunia internasional, dan Indonesia dilambangkan sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, sudah barang tentu, keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu dengan damai, dapat menepis dan menafikan pendapat Barat dan pendukungnya, bahwa Islam, negara Islam maupun muslim adalah fundamentalis, ekstrim dan teroris.

Eksistensi Syari’ah Islam
Sebenarnya, Indonesia, walaupun secara konstitusional tidak melegalisasi Islam sebagai agama negara, namun pada dasarnya Indonesia telah banyak ‘mencangkok’ Islam dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Dalam azas negara, Indonesia menjadikan Pancasila sebagai azasnya. Menurut sejarah ketatanegaraan Indonesia, Pancasila dijiwai oleh Pembukaan (preambule) UUD 1945, sedangkan Pembukaan UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta. Penerimaan Pancasila sebagai azas negara, tak lepas dari sikap kenegarawanan para pendiri negeri ini yang notabene 95% beragama Islam, mengesampingkan Islam sebagai azas negara. Padahal kesepakatan Islam sebagai azas negara tinggal menunggu ‘ketok palu’ di parlemen. Oleh karena itu, alm. H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, mantan Menteri Agama era Presiden Soeharto, menyatakan bahwa disepakatinya Pancasila sebagai azas negara adalah sebagai hadiah terbesar ummat Islam bagi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam perkembangan politik terbaru, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional, termasuk parpol yang tak memperjuangkan berlakunya ‘Piagam Jakarta’ yang isinya ‘negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’ah Islam bagi para pemeluk-pemeluknya’, sebagaimana diperjuangkan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang.
Namun mereka memperjuangkan Piagam Madinah, karena sebagaimana dikatakan DR. HM Hidayat Nur Wahid (sekarang Ketua MPR-RI), Piagam Madinah adalah suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau masuk ke Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama. Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama, dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Dalam masalah ekonomi, walaupun Indonesia agak tertinggal dari Malaysia dan Pilipina dalam mengembangkan ekonom syariah, namun patut diacungi jempol bahwa hampir semua perbankan di Indonesia sudah mengadopsi ekonomi yang berbasis syari’ah. Artinya adalah, bahwa bunga bank yang dikategorikan sebagai perbuatan riba, yang sangat diharamkan oleh Allah s.w.t., lambat laun akan tereliminasi. Sebagaimana diketahui, negara-negara Barat pun, khususnya Amerika Serikat juga sudah mengadopsi ekonomi syariah, sebelum Indonesia menerapkannya. Ini menunjukkan akan kebenaran hukum Allah s.w.t., bahwa riba (bunga bank) yang diharamkan, memang merugikan, patut dihindari dan dieliminasi.

Suasana Keberagamaan
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai penduduk Islam terbesar di dunia, oleh karena itu dapat dipahami bahwa kehidupan keberagamaannya sangat condong kepada nuansa Islami. Hanya di kantong-kantong tertentu, seperti di Papua, NTT atau Sulawesi Utara, nuansa Islami dirasa agak berkurang. Nuansa Islami terasa kental sekali, ketika bulan Ramadhan tiba, Jakarta sebagai ibukota negara menunjukkan jatidirinya sebagai barometer nuansa Islami di Indonesia. Hampir seluruh pelosok kampung di lima wilayah DKI Jakarta semarak dengan suasana Ramdhan. TV berebut menayangkan berbagai kegiatan, baik sinetron, lagu, kuis, maupun diskusi hampir sebagian besar bernuansa Islam.
Ini menunjukkan, bahwa Indonesia pada era reformasi, gerak dan langkah Islam seolah tak terbendung. Dengan demikian, sebenarnya Indonesia dapat dikatakan sudah menuju kepada proses berlakunya Islamisasi. Seluruh aspek kehidupan yang menuju kepada ke arah perbaikan, seperti rencana pemberantasan KKN, yang akan dimulai dari masing-masing elit politik, adalah suatu kebutuhan yang mendesak. Oleh karena itu, apakah memperjuangkan berlakunya Syari’ah di Indonesia masih diperlukan atau tidak, tergantung sejauhmana kita memandang Islamisasi di negeri ini. Dari analisa di atas, jelas hanya satu masalah besar yang belum diselesaikan oleh ummat Islam Indonesia, yaitu diberlakukannya Hukum Pidana Islam (jinayah/hudud). Kalau ini dipandang sebagai ‘target untuk melegalisasikannya’, maka memperjuangkan berlakunya syari’ah Islam di Indonesia secara sempurna memang wajib. Namun kalau hal ini dianggap sebagai ‘proses’, yang pada ujungnya seperti telah disahkannya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama serta diberlakukannya ekonomi syari’ah pada dunia perbankan di Indonesia, maka ‘nilai’ memperjuangkannya akan berubah menjadi, menunggu sampai situasi ‘membutuhkan bahwa diberlakukannya hukum pidana Islam memang sangat mendesak’.
Suasana keberagamaan agama Islam di Indonesia, sudah menjadi sinyal kuat, bahwa Indonesia tidak hanya dikenal sebagai berpenduduk Islam terbesar di dunia, namun ruh Islam atau Islamisasi di segala bidang sebenarnya sudah ‘merasuk’ negeri ini. Hanya dua hal yang belum dilegalisasi, yaitu pertama Islam sebagai agama negara (tauhid), kedua belum diberlakukannya hukum pidana Islam (hudud/jinayah). Oleh karena itu, kita harus kembali kepada kaidah agama, bahwa Allah s.w.t. tidak akan membebani ummat sesuai dengan kemampuannya .
Dengan demikian, memperjuangkan berlakunya Syari’ah Islam secara sempurna di Indonesia memang masih diperlukan, namun perjuangan tersebut tidak dilakukan melalui jalan kekerasan. Kenyataan membuktikan, ajakan (da’wah) Nabi s.a.w. semasa hidupnya, bahwa Islam sebagai agama yang ‘rahmatan lil alamin, dan agama yang paling benar di sisi Allah s.w.t.’ perlu proses panjang (23 tahun). Sejarah pun membuktikan, bahwa Islam masuk ke Indonesia dilakukan dengan cara-cara damai, yaitu melalui perdagangan dan persuasive, sehingga pada akhirnya Islam diterima oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Munculnya Gerakan Islam Di Masa Reformasi
Salah satu berkah pasca tumbangnya rejim Soeharto dan lahirnya era reformasi pimpinan Habibie adalah terciptanya situasi yang cukup kondusif bagi warga negara untuk mengekspresikan aspirasi sebagai bagian penting dari semangat demokrasi, seperti dicabutnya UU Antisubversif dan asas tunggal Pancasila serta kebebasan pers dan berpolitik praktis. Pada era ini lahir berbagai gerakan Islam yang dipelopori oleh anak-anak muda. Banyak sekali aktivis muslim yang semula mengambil jalan 'klandestein' mulai berani muncul ke permukaan. Dulu mereka terpaksa 'tiarap' karena tekanan rejim militer Orde Baru yang sangat represif. Demokrasi Pancasila saat itu hanyalah gincu untuk menutupi tindak terorisme negara.
Dari sekian banyak gerakan Islam yang lahir pada era reformasi adalah Majelis Mujahidin (MM). Sekitar 2000-an aktivis muslim dari penjuru tanah air, mulai yang paling 'ekstrim' hingga yang termoderat berkumpul di Jogjakarta mendeklarasikan berdirinya MM (7 Agustus 2000). Diantara hal yang menarik dalam acara Kongres Mujahidin pertama itu adalah adanya tarik-menarik yang sangat kuat dari berbagai gerakan Islam untuk 'menawarkan' untuk tidak mengatakan 'memaksakan kehendak', visi dan misi perjuangannya sehingga hampir saja menimbulkan bentrokan fisik. Namun, pada akhirnya kami semua sepakat untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama sebagai seorang muslim, yakni menegakkan syariat Islam secara utuh. Kami berhasil mengenyampingkan berbagai kepentingan sempit dan sesaat.
Kelompok yang mendaku sebagai hakim kebenaran agama ini, Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin dan simpatisannya melakukan kekejaman kepada Jama`ah Ahmadiyah, Islam Jama`ah (LDII), Jaringan Islam Liberal (JIL) serta Pusaka, sebuah LSM pendukung pluralisme yang berkantor di Padang. Tak hanya kepada “kelompok sesat” dalam lingkungan Islam sendiri, mereka juga menutup secara sepihak puluhan gereja di Jawa Barat dengan alasan tak memiliki ijin resmi.
Betul-betul aneh. Aksi “merebut” wewenang aparat keamanan oleh kelompok kelaskaran yang sesungguhnya merupakan perbuatan kriminal ini tidak mendapatkan reaksi pencegahan dari kepolisian. Polri tidak saja melakukan pembiaran, bahkan dalam kasus penyerangan Jama`ah Ahmadiyah di Bogor, ditemukan indikasi kuat kepolisian justru memberikan fasilitas kepada kelompok penyerang. Bahkan ketika protes terhadap kekerasan ini meluas di masyarakat, tak kunjung ada tanda-tanda kepolisian menindak para pelaku. Lengkaplah penderitaan para “korban fatwa” MUI, sebab, negarapun tak mampu menjamin hak mereka atas rasa aman, alih-alih hak untuk bebas berkeyakinan.
Karena, siapa pun orangnya pada dasarnya pasti membenci kejahatan. Akan jauh lebih hebat lagi rasanya jika para ulama NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan komponen umat Islam lainnya bersedia bahu-membahu mensosialisasikan pemahaman syariat Islam secara kaffah tanpa meninggalkan kekhasannya masing-masing sebagai karunia dari Allah swt. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka yang mengerikan jika kemudian kita sesama muslim justru saling menjegal dan merintangi perjuangan penegakan syariat. Jangan sampai ada di antara kita yang karena terlalu kagum melihat kesuksesan materi kaum kafir lalu mencibir sesama muslim, bahkan menuduh penyebabnya gara-gara memperjuangkan syariat-Nya.

Kesimpulan
Hukum islam tidak dapat dilepaskan begitu saja dari Indonesia ini terbukti dari banyaknya peraturan-peraturan yang telah diberlakukan di Indonesia berasal dari syariat islam. Sebagian orang berusaha untuk mencoba memberlakukan syariat islam di Indonesia, tapi beberapa orang menolak pemberlakuan syariat islam dikarenakan agama negara bukan agama islam (negara Indonesia bukan negara islam). Pro kontra seperti ini wajar terjadi di negara yang memberlakukan sistem demokrasi. Setelah tumbangnya rezim orde baru dan memasuki era reformasi, perbedaan pendapat semacam ini sering terjadi. Seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, pro kontra masalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Beberapa pengamat mengatakan bahwa RUU APP merupakan pintu masuk Hukum Isalm di Indonesia. Jika RUU APP ini disahkan, maka bukan tidak mmungkin Hukum Islam juga akan berlaku di Indonesia.

Selengkapnya......