February 11, 2008

Eksistensi Hukum Islam

Sejak negara Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, hukum islam memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami 6 kali pergantian presiden, hukum islam tetap dipakai dibeberapa bidang hukum disam ping hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui, gelombang reformasi yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Suharto banyak memunculkan kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia.Salah satunya yang hingga kini banyak menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syariat Islam, atau hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia. Tujuh kata itu adalah “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya ”.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran hukum Islam sepertinya lebih banyak didominasi oleh warna aliran yang anti perubahan, at least pada masa sebelum tahun 1989. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan substansial yang meliputi esensi materi hukumnya. Ketergantungan kepada teks fikih klasik yang begitu kuat, dan sempitnya peluang untuk menciptakan syarah interpretatif ketimbang syarah normatif, serta minimnya socio-religious response terhadap kasus-kasus hukum yang banyak terjadi menjadi bukti ketidak berdayaan pemikiran hukum Islam.
Munculnya gagasan-gagasan pembaharuan hukum Islam dalam bentuk Indonesiasi, reaktualisasi dan kontekstualisasi hukum Islam yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh hukum Islam Indonesia, seperti Hazairin, Hasbi Assiddiqie, A. Hassan, dan Munawir Sadzali tidak banyak mendapatkan respon dari masyarakat Muslim secara umum. Ide-ide mereka seakan terkubur oleh fanatisme masyarakat terhadap kitab-kitab kuning. Baru sejak dikenalkannya urgensi pluralisme pemikiran hukum lewat Kompilasi Hukum Islam yang disahkan dengan Inpres tahun 1991, gagasan yang terpendam lama itu mendapat angin segar untuk bangkit kembali. Setidaknya, respon positif masyarakat bisa dibaca dari animo dan antusiasme mereka terhadap kajian sosiologi hukum dan terbitnya buku Fiqh Sosial-nya Ali Yafie.

Di Era Reformasi
Munculnya era reformasi yang menjadi lambang menguatnya civil society dan runtuhnya mitos birokrasi yang me"mapan"kan cengkeraman kuku-kuku kekuasaan seakan menjadi awal yang baik bagi terbukanya peluang pengembangan hukum Islam yang mengakar pada social demand dan bukan pada kepentingan politik negara. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.
Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya. Reformulasi hukum Islam merupakan suatu keharusan dalam rangka perbaikan aplikasi hukum Islam yang mengarah kepada terwujudnya kemaslahaan umum. Disamping itu, reforlmulasi juga dibutuhkan dalam rangka mempertegas eksistensi dan peranan hukum Islam di Indonesia serta memperjelas posisinya dalam peta pemikiran Islam di Indonesia, khususnya, dan dalam pemikiran hukum secara umum.
Upaya reformulasi hukum Islam di era reformasi memiliki peluang yang cukup besar, disamping adanya suatu tuntutan, ternyata juga didukung oleh teori-teori hukum yang ada. Hambatan-hambatan yang ada kebanyakan hanya bersifat normatif-sosiologis yang bisa diatasi secara bertahap.Hendaknya reformulasi hukum Islam tidak lagi hanya berfokus kepada pilihan materi hukum, melainkan secara tegas harus memberikan penekanan pada kepastian metodologi istinbath hukumnya.
Pemilu legislatif (5 April 2004) serta pemilu presiden putaran I (5 Juli 2004) dan II (20 September 2004) telah usai dengan damai. Penyelenggaraan pemilu yang sangat damai ini mendapat pujian dan decakan kagum dunia internasional, dan Indonesia dilambangkan sebagai negara demokrasi ketiga terbesar dunia, setelah Amerika Serikat dan India. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, sudah barang tentu, keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu dengan damai, dapat menepis dan menafikan pendapat Barat dan pendukungnya, bahwa Islam, negara Islam maupun muslim adalah fundamentalis, ekstrim dan teroris.

Eksistensi Syari’ah Islam
Sebenarnya, Indonesia, walaupun secara konstitusional tidak melegalisasi Islam sebagai agama negara, namun pada dasarnya Indonesia telah banyak ‘mencangkok’ Islam dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Dalam azas negara, Indonesia menjadikan Pancasila sebagai azasnya. Menurut sejarah ketatanegaraan Indonesia, Pancasila dijiwai oleh Pembukaan (preambule) UUD 1945, sedangkan Pembukaan UUD 1945 dijiwai oleh Piagam Jakarta. Penerimaan Pancasila sebagai azas negara, tak lepas dari sikap kenegarawanan para pendiri negeri ini yang notabene 95% beragama Islam, mengesampingkan Islam sebagai azas negara. Padahal kesepakatan Islam sebagai azas negara tinggal menunggu ‘ketok palu’ di parlemen. Oleh karena itu, alm. H. Alamsyah Ratu Perwiranegara, mantan Menteri Agama era Presiden Soeharto, menyatakan bahwa disepakatinya Pancasila sebagai azas negara adalah sebagai hadiah terbesar ummat Islam bagi bangsa dan negara Indonesia.
Dalam perkembangan politik terbaru, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional, termasuk parpol yang tak memperjuangkan berlakunya ‘Piagam Jakarta’ yang isinya ‘negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan Syari’ah Islam bagi para pemeluk-pemeluknya’, sebagaimana diperjuangkan Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Bulan Bintang.
Namun mereka memperjuangkan Piagam Madinah, karena sebagaimana dikatakan DR. HM Hidayat Nur Wahid (sekarang Ketua MPR-RI), Piagam Madinah adalah suatu aturan yang diberikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ketika beliau masuk ke Madinah setelah meninggalkan Makkah. Inilah sebuah piagam yang memberikan jaminan kesetaraan hidup beragama. Tidak ada pemaksaan hidup beragama. Dengan Piagam Madinah, warga setempat merasakan keadilan hidup beragama, dapat menjalankan ajaran agama yang memberdayakan, yang menjamin integrasi bangsa, yang menjamin adanya pluralitas atau kemajemukan bangsa, yang menjamin kemajuan bagi semua. Tak ada eksploitasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain.
Dalam masalah ekonomi, walaupun Indonesia agak tertinggal dari Malaysia dan Pilipina dalam mengembangkan ekonom syariah, namun patut diacungi jempol bahwa hampir semua perbankan di Indonesia sudah mengadopsi ekonomi yang berbasis syari’ah. Artinya adalah, bahwa bunga bank yang dikategorikan sebagai perbuatan riba, yang sangat diharamkan oleh Allah s.w.t., lambat laun akan tereliminasi. Sebagaimana diketahui, negara-negara Barat pun, khususnya Amerika Serikat juga sudah mengadopsi ekonomi syariah, sebelum Indonesia menerapkannya. Ini menunjukkan akan kebenaran hukum Allah s.w.t., bahwa riba (bunga bank) yang diharamkan, memang merugikan, patut dihindari dan dieliminasi.

Suasana Keberagamaan
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai penduduk Islam terbesar di dunia, oleh karena itu dapat dipahami bahwa kehidupan keberagamaannya sangat condong kepada nuansa Islami. Hanya di kantong-kantong tertentu, seperti di Papua, NTT atau Sulawesi Utara, nuansa Islami dirasa agak berkurang. Nuansa Islami terasa kental sekali, ketika bulan Ramadhan tiba, Jakarta sebagai ibukota negara menunjukkan jatidirinya sebagai barometer nuansa Islami di Indonesia. Hampir seluruh pelosok kampung di lima wilayah DKI Jakarta semarak dengan suasana Ramdhan. TV berebut menayangkan berbagai kegiatan, baik sinetron, lagu, kuis, maupun diskusi hampir sebagian besar bernuansa Islam.
Ini menunjukkan, bahwa Indonesia pada era reformasi, gerak dan langkah Islam seolah tak terbendung. Dengan demikian, sebenarnya Indonesia dapat dikatakan sudah menuju kepada proses berlakunya Islamisasi. Seluruh aspek kehidupan yang menuju kepada ke arah perbaikan, seperti rencana pemberantasan KKN, yang akan dimulai dari masing-masing elit politik, adalah suatu kebutuhan yang mendesak. Oleh karena itu, apakah memperjuangkan berlakunya Syari’ah di Indonesia masih diperlukan atau tidak, tergantung sejauhmana kita memandang Islamisasi di negeri ini. Dari analisa di atas, jelas hanya satu masalah besar yang belum diselesaikan oleh ummat Islam Indonesia, yaitu diberlakukannya Hukum Pidana Islam (jinayah/hudud). Kalau ini dipandang sebagai ‘target untuk melegalisasikannya’, maka memperjuangkan berlakunya syari’ah Islam di Indonesia secara sempurna memang wajib. Namun kalau hal ini dianggap sebagai ‘proses’, yang pada ujungnya seperti telah disahkannya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama serta diberlakukannya ekonomi syari’ah pada dunia perbankan di Indonesia, maka ‘nilai’ memperjuangkannya akan berubah menjadi, menunggu sampai situasi ‘membutuhkan bahwa diberlakukannya hukum pidana Islam memang sangat mendesak’.
Suasana keberagamaan agama Islam di Indonesia, sudah menjadi sinyal kuat, bahwa Indonesia tidak hanya dikenal sebagai berpenduduk Islam terbesar di dunia, namun ruh Islam atau Islamisasi di segala bidang sebenarnya sudah ‘merasuk’ negeri ini. Hanya dua hal yang belum dilegalisasi, yaitu pertama Islam sebagai agama negara (tauhid), kedua belum diberlakukannya hukum pidana Islam (hudud/jinayah). Oleh karena itu, kita harus kembali kepada kaidah agama, bahwa Allah s.w.t. tidak akan membebani ummat sesuai dengan kemampuannya .
Dengan demikian, memperjuangkan berlakunya Syari’ah Islam secara sempurna di Indonesia memang masih diperlukan, namun perjuangan tersebut tidak dilakukan melalui jalan kekerasan. Kenyataan membuktikan, ajakan (da’wah) Nabi s.a.w. semasa hidupnya, bahwa Islam sebagai agama yang ‘rahmatan lil alamin, dan agama yang paling benar di sisi Allah s.w.t.’ perlu proses panjang (23 tahun). Sejarah pun membuktikan, bahwa Islam masuk ke Indonesia dilakukan dengan cara-cara damai, yaitu melalui perdagangan dan persuasive, sehingga pada akhirnya Islam diterima oleh mayoritas penduduk Indonesia.

Munculnya Gerakan Islam Di Masa Reformasi
Salah satu berkah pasca tumbangnya rejim Soeharto dan lahirnya era reformasi pimpinan Habibie adalah terciptanya situasi yang cukup kondusif bagi warga negara untuk mengekspresikan aspirasi sebagai bagian penting dari semangat demokrasi, seperti dicabutnya UU Antisubversif dan asas tunggal Pancasila serta kebebasan pers dan berpolitik praktis. Pada era ini lahir berbagai gerakan Islam yang dipelopori oleh anak-anak muda. Banyak sekali aktivis muslim yang semula mengambil jalan 'klandestein' mulai berani muncul ke permukaan. Dulu mereka terpaksa 'tiarap' karena tekanan rejim militer Orde Baru yang sangat represif. Demokrasi Pancasila saat itu hanyalah gincu untuk menutupi tindak terorisme negara.
Dari sekian banyak gerakan Islam yang lahir pada era reformasi adalah Majelis Mujahidin (MM). Sekitar 2000-an aktivis muslim dari penjuru tanah air, mulai yang paling 'ekstrim' hingga yang termoderat berkumpul di Jogjakarta mendeklarasikan berdirinya MM (7 Agustus 2000). Diantara hal yang menarik dalam acara Kongres Mujahidin pertama itu adalah adanya tarik-menarik yang sangat kuat dari berbagai gerakan Islam untuk 'menawarkan' untuk tidak mengatakan 'memaksakan kehendak', visi dan misi perjuangannya sehingga hampir saja menimbulkan bentrokan fisik. Namun, pada akhirnya kami semua sepakat untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama sebagai seorang muslim, yakni menegakkan syariat Islam secara utuh. Kami berhasil mengenyampingkan berbagai kepentingan sempit dan sesaat.
Kelompok yang mendaku sebagai hakim kebenaran agama ini, Front Pembela Islam (FPI), Majlis Mujahidin dan simpatisannya melakukan kekejaman kepada Jama`ah Ahmadiyah, Islam Jama`ah (LDII), Jaringan Islam Liberal (JIL) serta Pusaka, sebuah LSM pendukung pluralisme yang berkantor di Padang. Tak hanya kepada “kelompok sesat” dalam lingkungan Islam sendiri, mereka juga menutup secara sepihak puluhan gereja di Jawa Barat dengan alasan tak memiliki ijin resmi.
Betul-betul aneh. Aksi “merebut” wewenang aparat keamanan oleh kelompok kelaskaran yang sesungguhnya merupakan perbuatan kriminal ini tidak mendapatkan reaksi pencegahan dari kepolisian. Polri tidak saja melakukan pembiaran, bahkan dalam kasus penyerangan Jama`ah Ahmadiyah di Bogor, ditemukan indikasi kuat kepolisian justru memberikan fasilitas kepada kelompok penyerang. Bahkan ketika protes terhadap kekerasan ini meluas di masyarakat, tak kunjung ada tanda-tanda kepolisian menindak para pelaku. Lengkaplah penderitaan para “korban fatwa” MUI, sebab, negarapun tak mampu menjamin hak mereka atas rasa aman, alih-alih hak untuk bebas berkeyakinan.
Karena, siapa pun orangnya pada dasarnya pasti membenci kejahatan. Akan jauh lebih hebat lagi rasanya jika para ulama NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dan komponen umat Islam lainnya bersedia bahu-membahu mensosialisasikan pemahaman syariat Islam secara kaffah tanpa meninggalkan kekhasannya masing-masing sebagai karunia dari Allah swt. Sebaliknya, akan menjadi malapetaka yang mengerikan jika kemudian kita sesama muslim justru saling menjegal dan merintangi perjuangan penegakan syariat. Jangan sampai ada di antara kita yang karena terlalu kagum melihat kesuksesan materi kaum kafir lalu mencibir sesama muslim, bahkan menuduh penyebabnya gara-gara memperjuangkan syariat-Nya.

Kesimpulan
Hukum islam tidak dapat dilepaskan begitu saja dari Indonesia ini terbukti dari banyaknya peraturan-peraturan yang telah diberlakukan di Indonesia berasal dari syariat islam. Sebagian orang berusaha untuk mencoba memberlakukan syariat islam di Indonesia, tapi beberapa orang menolak pemberlakuan syariat islam dikarenakan agama negara bukan agama islam (negara Indonesia bukan negara islam). Pro kontra seperti ini wajar terjadi di negara yang memberlakukan sistem demokrasi. Setelah tumbangnya rezim orde baru dan memasuki era reformasi, perbedaan pendapat semacam ini sering terjadi. Seperti yang terjadi pada akhir-akhir ini, pro kontra masalah RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi. Beberapa pengamat mengatakan bahwa RUU APP merupakan pintu masuk Hukum Isalm di Indonesia. Jika RUU APP ini disahkan, maka bukan tidak mmungkin Hukum Islam juga akan berlaku di Indonesia.

0 comments: